Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan
berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd
probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan
sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan
sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang
multiaspek (multidimensional dan multifaset).
Penalaran hukum sebagai
kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas. Menurut
Berman ciri khas penalaran hukum adalah:
1.
Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum
dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa
hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia similibus (persamaan);
2.
Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi
historikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah
terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin
stabilitas dan prediktabili-tas;
3. Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni
menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an, baik dalam perdebatan pada
pembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang
diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi.
Ada beberapa pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam penalaran hukum.
Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi sumber hukum
yang mungkin, biasanya berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify
the applicable sources of law);
2. Menganalisis sumber hukum
tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan
tersebut (analyze the sources of law);
3. Mensintesiskan aturan
hukum tersebut ke dalam struktur yang
koheren, yakni strukturmyang
mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan
umum (synthesize the applicable
rules of law into a coherent structure);
4. Menelaah fakta-fakta yang
tersedia (research the available facts);
5. Menerapkan struktur aturan
tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul
dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam
aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).
Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang
harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1. Meletakkan kasus dalam
sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar
(peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2. Menerjemahkan kasus itu ke
dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3. Menyeleksi aturan-aturan
hukum yang relevan;
4. Menganalisis dan menafsirkan
(interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5. Menerapkan aturan-aturan
hukum pada kasus;
6. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji)
argumen-argumen dan penyelesaian;
7. Merumuskan (formulasi)
penyelesaian.
Sedangkan Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi fakta-fakta
untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini
oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2. Menghubungkan (mensubsumsi)
struktur kasus ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia
dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3. Menyeleksi sumber hukum dan
aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung
di dalam aturan hukum itu (the policies
underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan
yang koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan
dengan struktur kasus;
5. Mencari alternatif-alternatif
penyelesaian yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah
satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat
didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penalaran hukum induksi dan
deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal
dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab
akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan
pada tingkat pertama dan kedua adalah judex
facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah
dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi.
Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum,
yaitu kekosongan hukum (leemten in het
recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi
hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi),
yaitu:
1.
Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2.
Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan
yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3.
Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.
Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut
antara lain pengingkaran (disavowal),
reinterpretasi, pembatalan (invalidation),
dan pemulihan (remedy).
Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim
menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim
merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima
oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode
interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts
vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet
vacuum), hakim berpegang pada asas ius
curia novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.
Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak
jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih
undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.
Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo
mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk
melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa
hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan
konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat
umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.
Paul Scholten menyatakan
yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya
penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering
terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi
maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning
(penghalusan/pengkonkretan hukum).
Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya
adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum
adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung
menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim,
ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya).
Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).
Dalam rangka menemukan
hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan
ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna
hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia
seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu
perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut
dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi
metode interpretasi (interpretation
methoden) dan konstruksi hukum ini
terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld) a contrario,
dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa
Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan
oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau
penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.
Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim
menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa
Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum
dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku
Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya,
para penulis yang condong ke sistem Anglo
Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat
pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi
hukum.
Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain
sebagai berikut:
1.
Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang
sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.
Interpretasi historis, yaitu
mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat
oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
3.
Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu
pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan
berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis
peraturan lainnya;
4.
Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum
yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa
yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5.
Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan
memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak
dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.
Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang
bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada
undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
7.
Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi
atau mempersempit makna dari suatu aturan;
8.
Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.
Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan
penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di
dalam undang-undang itu sendiri;
10.
Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran
yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum
lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11.
Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi
dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang
seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.
Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh
hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.
Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang
lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang
telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2.
Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa
apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa
di luarnya berlaku kebalikannya;
3.
Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning)
bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu
abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu
peristiwa tertentu;
4.
Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan
fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.
Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan
konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang
dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai
alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada
interpretasi teks hukum. Metode penemuan hukum ini dinamakan hermeneutika hukum.
Hermeneutika hukum sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya
justru lebih tepat bila digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan
hermeneutis dan menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu, dimana para ahli
hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.
Tujuan hermeneutika hukum di antaranya untuk menempat-kan perdebatan
kontemporer mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih
luas. Upaya mengkonsteks-tualisasikan teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan
bahwa hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum).
Upaya memandang problema hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi
linguistik hukum, dan implikasi politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum
ini mencoba membangun interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.
Dalam praktik peradilan tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak
atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik
peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan begitu dominannya metode
interpretasi hukum dan konstruksi hukum yang sangat legalistik formal sebagai
metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di
Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan metode
ini, sehingga jarang atau tidak menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal
esensi hermeneutika hukum terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan teks
hukum yang tidak semata-mata melihat teks saja semata, tetapi juga konteks
hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan
hukumnya di masa kini dan masa mendatang.