Sabtu, 27 September 2014

WILAYAH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Batas wilayah suatu negara menurut hukum internasional dapat ditentukan melalui :
  • Perjanjian dengan negara yang berbatasan
  • Keadaan alam
Daerah atau wilayah adalah tempat berlakunya susunan kekuasaan negara, dimana batas-batas daerah negara ini ditentukan dengan perjanjian. Perjanjian dengan negara-negara tetangganya baik perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Wilayah negara dalam hukum internasional terdiri atas :
  1. 1.      Wilayah darat
Wilayah darat adalah daerah dipermukaan bumi didalam batas-batas tertentu didalam tanah dibawah permukaan bumi dalam batas-batas itu pula sejauh-jauh dapat dicapai oleh manusia. Ini berarti kekayaan alam yang ada di bumi dalam batas negara menjadi hak dari negara itu.
  1. 2.      Wilayah laut
Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah di bawah laut adalah dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya. Wilayah laut ada yang dikuasai negara dan ada yang tidak dikuasai negara. Negara yang mengusai laut adalah negara yang wilayah daratannya berbatasan dengan laut hukum internasional yang mengatur hak negara atas wilayah laut adalah hukum internasional kebiasaan dan perjanjian internasional. Adapun wilayah laut suatu negara meliputi :
  • Wilayah laut pedalaman
  • Wilayah laut teritorial
  • Wilayah ekonomi ekslusif
  • Wilayah landas kontinen
  • Wilayah laut negara kepulauan
  1. 3.      Wilayah udara
Wilayah udara adalah ruang udara yang ada diatas wilayah daratan, wilayah laut pedalaman, wilayah laut teritorial, dan wilayah laut kepulauan
  1. 4.      Wilayah Convensional
Wilayah convensional adalah tempat yang menurut kebiasaan kebiasaan hukum internasional diakui sebagai daerah kekuasaan suatu negara, walaupun tempat itu sebenarnya sangat nyata ada didalam wilayah lain.
Contoh-contoh daerah convensional ialah :
  1. Kapal-kapal yang berlayar dibalik bendera suatu negara
  2. Tempat-tempat kedutaan atau perwakilan tetap suatu negara diluar negeri
Mengenai daerah besar kecilnya daerah negara menurut pendapat J.J. Rousseau bahwa negara itu sebaiknya jangan terlampau kecil supaya dapat bertahan dan jangan pula terlampau besar supaya dapat diatur sebaik-baiknya. Besar kecilnya daerah negara pertama-tama ditentukan oleh besar kecilnya bangsa dan persebarannya. Tetapi bukan itu saja. Disamping itu masih banyak unsur-unsur lain yang ikut menentukan besar kecilnya daerah negara.
Sekarang diseluruh dunia ini tiap bidang tanah tiap sekelumit daerah adalah wilayah dari negara yang lain atau yang satu. Tiada tanah yang bukan wilayah suatu negara.
Menempuh wilayah negara asing tanpa ijin, dianggap pelanggaran atas sauvenrenteit negara itu. Dan wilayah dari suatu negara adalah diatas tanah suatu negara. Sedangkan batas-batas laut teritorial ditetapkan oleh masing-masing negara yang pada umumnya adalah 3 mil dari pulau yang terluar.

Jumat, 26 September 2014

TEORI PENALARAN HUKUM

Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek (multidimensional dan multifaset).[1]
Penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas. Menurut Berman ciri khas penalaran hukum adalah:
1.            Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia similibus (persamaan);
2.            Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi historikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin stabilitas dan prediktabili-tas;
3.        Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an, baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi.[2]
Ada beberapa pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam penalaran hukum. Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu:
1.    Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin,  biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of law);
2.     Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3.      Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam   struktur yang koheren, yakni strukturmyang   mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah   aturan   umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent structure);
4.      Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5.     Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).[3]
Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1.       Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2.  Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3.     Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4.     Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5.     Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6.     Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7.     Merumuskan (formulasi) penyelesaian.[4]
Sedangkan Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1.       Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2.       Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3.     Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4.       Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5.       Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6.     Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.[5]
Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.[6]
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.[7] Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1.          Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2.            Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3.            Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang  baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.[8]
Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).[9] Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[10]
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.[11] Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.[12] Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.[13]
Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).[14] Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya).[15] Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[16]
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[17]
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan  konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld) a contrario, dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[18]
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.[19] Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi hukum.[20]
Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1.            Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.             Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
3.            Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
4.            Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5.            Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.            Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
7.            Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;
8.            Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.            Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;
10.         Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11.         Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[21]
Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.            Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2.            Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
3.            Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;
4.            Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.[22]
Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada interpretasi teks hukum. Metode penemuan hukum ini dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih tepat bila digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hermeneutis dan menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu, dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.[23]
Tujuan hermeneutika hukum di antaranya untuk menempat-kan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas. Upaya mengkonsteks-tualisasikan teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan bahwa hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Upaya memandang problema hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi linguistik hukum, dan implikasi politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum ini mencoba membangun interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.[24]
Dalam praktik peradilan tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teks saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.[25]

Senin, 16 Juni 2014

DEFINISI HUKUM ADAT

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven

Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
  • menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku.
  • menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).

Ter Haar

Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.[8]
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.[9]

HUKUM ADAT

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Selasa, 10 Juni 2014

ETIKA PROFESI POLRI

Polisi Republik Indonesia (Polri) dalam perannya sebagai penegak hukum diusianya yang ke-63 tahun selalu terus berupaya untuk memberikan hasil yang baik. Gejala merosotnya pengemban profesi hukum tampak dari munculnya istilah “Mafia Peradilan”, dan orang mulai merasa bahwa sebaiknya untuk menyelesaikan suatu kasus sedapat mungkin jangan ke pengadilan dengan bantuan pengemban profesi hukum. Apa artinya jika dikatakan bahwa profesi mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika kode etik profesi tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pengembannya. Tetapi, apa kode etik profesi itu, dan mengapa profesi memerlukan kode etik? Jawabannya akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk dapat menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, jika klien mendatangi atau menghubungi pengemban profesi untuk meminta pelayanan atau jasa profesionalnya, maka pada dasarnya klien tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat. Uraian tadi menunjukkan bahwa hubungan horosontal antara pengemban profesi dan kliennya juga bersifat suatu hubungan kepercayaan. Ini berarti bahwa klien yang meminta jasa pelayanan profesional, mendatangi pengemban profesi yang bersangkutan dengan kepercayaan penuh bahwa pengemban profesi itu tidak akan menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu secara bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya pengembanan profesi atau pelayanan profesional itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang bukan pengemban profesi yang bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap pengembanan profesi. Termasuk birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan pengawasan dan pengendalian kemasyarakatan (kontrol sosial) terhadap pelayanan profesional secara efektif. Daya jangkau kontrol sosial birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah hukum sangat terbatas, baik karena sifat personal pada hubungan antara pengemban profesi dan klien maupun karena pengemban profesi memiliki kekuasaan dan menjalankan kewibawaan tertentu terhadap kliennya.
Penegakan Hukum
Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama, berdasarkan pengertian terdapatnya kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Karena tidak memiliki kompetensi teknikal, maka awam tidak dapat menilai hal itu. Ini berarti, kepatuhan terhadap etika profesi akan sangat tergantung pada akhlak dan moral pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu pengemban profesi sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntutan etika profesi. Sedangkan perilaku dalam pengembanan profesi dapat membawa akibat negatif yang jauh terhadap klien, dimana kenyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman obyektif yang lebih konkret bagi perilaku profesionalnya. Karena itu, dari dalam lingkungan para pengemban profesi itu sendiri dimunculkan seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi tersebut. Perangkat kaidah itulah yang disebut sebagai kode etik profesi (biasa disingkat: kode etik), yang dapat tertulis maupun yang tidak tertulis. Pada masa sekarang, kode etik itu pada umumnya berbentuk tertulis yang ditetapkan secara formal oleh tiap-tiap organisasi profesi yang bersangkutan. Pada dasarnya, kode etik itu bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan di lain pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan atau otoritas profesional. Yang dalam perkembangan selanjutnya kode etik tersebut termasuk kelompok kaidah moral positif.
Kondisi ini, baik dimasa pemerintahan orde baru maupun pemerintahan pasca reformasi, termasuk pemerintahan sekarang dalam kontek teknisnya, eksistensi “kode etik” tersebut dalam melayani hajat hidup orang banyak, belum total mencitrakan diri dan jatidirinya sebagai pelayanan publik. Dengan kata lain, masih memperlihatkan penyelewengan-penyelewengan etika profesi yang dilakukan oleh pengemban profesi secara individualistik.
Apalagi dikaitkan dengan tuntutan aspirasi rakyat yang menginginkan reformasi total terhadap seluruh tatanan pelayanan publik, dan kita masih berharap-harap cemas untuk mendapat buktinya, apakah dalam kenyataannya proses pengemban profesi ini masih berdasarkan akal sehat dan moral yang baik atau sekedar pengabdian profesi yang tanpa pamrih?
Realitasnya, klien (warga masyarakat) masih harus menanggung beban dalam luka liku setiap permasalahan yang dihadapinya ketika dikerjakan oleh seorang pengemban profesi walaupun ia sanggup membayar, tapi ia akan terus dihantui bayang-bayang kegelisahan ketika permasalahan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Malah, dalam kenyataannya proses tersebut harus dibayar dengan mahal, baik secara moril maupun material.
Kendati begitu, dalam prosesnya harus dihitung berbagai kelemahan, baik yang bersifat yuridis formal maupun psikologis, tanpa itu kita bakal terjebak kembali oleh perilaku budaya yang arogan dan kesewenang-wenangan dalam menyelesaikan setiap proses dalam pengembanan profesi tersebut. Persoalan mendasar yang masih kita hadapi saat ini, tidak terlepas dari rangkaian perilaku moral dari para pengemban profesi yang erat dengan budaya feodal kolonialistik. Dan reaksinya, muncul ke permukaan setelah klien (warga masyarakat) di berbagai daerah memiliki kembali keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam pola masyarakat hukum.
Paling tidak, mereka itu dapat melakukan kontrol dan penataan publik, terhadap perilaku profesi yang menyimpang yang dilakukan oleh setiap pengemban profesi dalam menjalankan fungsinya dalam tatanan kemasyarakatan, yang memerlukan jasa pelayanan profesinya secara proporsional dan profesional dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam peri kehidupan masyarakat secara benar dan tuntas.
Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang berkeadilan itu adalah kebutuhab dasar manusia, karena hanya dalam situasi demikian manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar, yakni sesuai dengan martabat kemanusiannya. Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur dan merupakan unsur esensial dari martabat manusia.
Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum, kesadaran etis dan keadilan bersumber pada penghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik tolak atau landasan bertumpunya serta tujuan akhir dari hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum diwujudkan dalam pelbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah –kaidah hukumnya serta penegakannya adalah produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi pelbagai masalah kehidupan dalam masyarakat, termasuk menanggulangi dan mengarahkan kecenderungan-kecenderungan yang negatif agar menjadi positif dan mengaktualisasikan atau memproduktifkan kecenderungan-kecenderungan positif yang ada dalam diri manusia.
Dalam setiap perjuangan, manusia berusaha memahami, mengolah dan mengakomodasikan secara kreatif pelbagai kenyataan kemasyarakatan pada nilai-nilai yang dianut dan mengekspresikan ke dalam sistem penataan perilaku dan kehidupan bersama dalam wujud kaidah-kaidah hukum, sehingga bermanfaat bagi perlindungan martabat manusia sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban yang sudah tercapai. Dapat dikatakan bahwa dalam dinamika kehidupan umat manusia, hukum dan tata hukumnya termasuk salah satu faktor yang sangat penting dalam proses penghalusan budi pekerti umat manusia. Kualitas kehidupan hukum dan tata hukum suatu masyarakat mencerminkan tingkat akhlak atau situasi kultural masyarakat yang bersangkutan.
Penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia agar kehidupan manusia tetap bermartabat adalah suatu fungsi kemasyarakatan. Pada tingkat peradaban yang sudah majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan itu dalam kehidupan sehari-harinya diwujudkan oleh profesi hukum. Peran kemasyarakatan profesi hukum itu dapat dibagi menjadi empat bidang karya hukum, yakni :
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan).
2. Pencegahan konflik (legal drafting, legal advice).
3. Penyelesaian konflik secara informal.
4. Penerapan hukum di luar konflik.
Pada masa sekarang, yang termasuk dalam bagian profesi hukum yang secara khas mewujudkan bidang karya hukumnya adalah jabatan-jabatan hakim, advokat dan notaris. Jabatan manapun yang diembannya, seorang pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik kepentingan antar warga masyarakat, seringkali konflik kepentingan itu tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh para pihak yang bersangkutan, karena tiap pihak tentu saja akan cenderung berusaha untuk dengan segala cara membela kepentingan-kepentingannya. Cara yang demikian akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan dapat menjurus pada terciptanya suasana “bellum omnium contra omnes” dengan hukum rimbanya : “siapa yang kuat dialah yang menang”. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan konflik kepentingan dengan baik demi terpeliharanya ketertiban di dalam masyarakat, maka diperlukan adanya institusi (kelembagaan) khusus yang mampu memberikan penyelesaian secara tidak memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan yang berlaku secara obyektif. Untuk menyelesaikan konflik-konflik kepentingan secara formal dengan kepastian yang berkeadilan, maka terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim, advokat dan jaksa.
Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu situasi konkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum yang dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan obyektif. Wewenang itulah yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman, dimana pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut dalam kenyataan konkret, dilaksanakan oleh pejabat lembaga peradilan yang dinamakan hakim.
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya. Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah sekalipun. Dalam mengambil keputusan para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya, disamping sikap etis atau etika profesi hakim harus berintikan: sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Dan mengenai tanggung jawab antara hakim dan advokat atau penasehat hukum adalah tanggung jawab dan kewenangannya saja, hakim terbatas pada satu bidang karya hukum saja, yakni penyelesaian konflik dan masalah formal, sedangkan advokat atau penasehat hukum dapat berperan pada semua bidang karya hukum dalam mengemban profesinya itu. Advokat atau penasehat hukum juga harus selalu mengacu pada usaha mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan. Karena itu, pada dasarnya etika profesi hakim berlaku juga bagi para advokat. Secara etis, para advokat atau penasehat hukum berkewajiban untuk menegakkan asas-asas hukum dan martabat manusia.
Penutup
Uraian diatas mengambarkan kode etik profesi hukum dalam bentuk ideal, walaupun dalam kenyataanya dapat kita temukan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hal konteks ini. Hal ini biasa, artinya dalam kenyataan konkret hampir tidak ada sesuatu yang hadil dalam bentuk idealnya. Namun, jika penyimpangan-penyimpangan ini cukup jauh dan mencakup banyak aspek serta meluas sekali, maka mungkin kita dapat berbicara tentang krisis atau perubahan fundamental dengan segala akibat dan konsekuensi logisnya dalam kehidupan bermasyarakat. Uraian ini justru dimulai dengan menunjukkan gejala-gejala yang memperlihatkan kemungkinan adanya krisis dalam dunia profesi kita yang mungkin mencakup semua profesi yang ada sekarang ini.
Tujuan pokok (essensial goals) para pengemban profesi dalam mengemban profesinya adalah mewujudkan hasil karya obyektif (objective achievement) dan pengakuan. Dalam kenyataan terdapat beberapa hal yang sangat penting tidak hanya sebagai lambang pengakuan saja, melainkan dalam konteks lain. Misalnya, berlaku untuk uang. Karena uang adalah penting sehubungan dengan apa yang dapat dibelinya, tetapi juga penting dalam perannya sebagai lambang pengakuan nyata atas kualitas karya profesionalnya.Gambaran ideal tentang profesi hanya berlaku pada situasi yang di dalamnya terdapat aspek hasil karya obyektif dan terintegrasikan dengan baik. Jika kenyataan aktual menyimpang dari kondisi ideal, maka hasil karya obyektif yang memiliki nilai secara institusional dan perolehan pelbagai lambang pengakuan akan tidak terartikulasikan atau terolah dengan baik. Kualitas profesi hukum akan merosot jika penguasa politik menguasai profesi dalam rangka menetralkan sumber kritik potensialnya, para pengemban profesi hukum terperangkap oleh kepentingan klien, karena takut kehilangan klien, pengemban profesi secara subyektif terlibat terlalu jauh dalam kepentigan klien, dan ujung-ujungnya kualitas lembaga peradilan sangat rendah dan mengkhawatirkan kondisinya.
Dari apa yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa profesi adalah suatu kerangka institusional yang di dalamnya terdapat sejumlah fungsi kemasyarakatan yang paling penting dijalankan, terutama pengembangan serta pengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktikalnya dalam bidang-bidang ilmu lainnya terutana dalam bidang hukum. Untuk itu perlu diusahakan agar profesi-profesi ini mampu mempertahanlkan otonominya, misalnya lewat organisasi profesi yangkemandiriannya diakui dan dihormati oleh penguasa publik dan masyarakat, serta didukung oleh proses dan metode yang juga memuat usaha untuk secara sistematis menumbuhkan sikap etis yang sesuai dengan dinamisasi kehidupan masyarakat sekarang ini.
Sebab, membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif emosional, peran pengemban profesi hukum yang profesional dan proporsional akan sangat menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri dan jati dirinya, masyarakat akan terpengaruh untuk tidak patuh dan taat akan hukum. Karena yang kita perlukan adalah para pengemban profesi hukum yang bisa memerankan unsur idealisme dan realistisnya dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk harapan dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi hukum akan terwujud dengan sendirinya

Jumat, 16 Mei 2014

CONTOH SURAT DAKWAAN


No. Kejari       : PDM.01/BREBES/11/2009                       Brebes, 23 November  2009
Lampiran       : -
Perihal           : Surat Dakwaan
DAKWAAN
Terhadap seseorang yang bernama        : Vidin Sumringah
            Nama Lengkap                                 : Vidin Sumringah
            Tempat/Tgl Lahir/Umur                   : Brebes, 10 Oktober 1964
            Jenis Kelamin                                  : Laki-laki
            Kebangsaan                                     : Indonesia
            Tempat tinggal                                  : Jl. Semrawut No.67 RT 007 / RW 007
            Agama                                               : Konghucu
            Pekerjaan                                          : Wiraswasta
            Pendidikan                                       : SD
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor : PDM.13/BREBES/11/2009 tanggal 23 November 2009, dimana terdakwa melakukan tindak pidana sebagai berikut:
Dakwaan :
            Bahwa ia Terdakwa, Vidin pada hari Rabu 26 Oktober 2009 jam 05.00 WIB atau setidak-tidaknya pada bulan Oktober 2009 tak jauh dari kediaman Korban di Jalan Bahagia No.2 Brebes atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Brebes, bahwa ia Terdakwa telah memperkosa  Korban secara sadar dan tanpa paksaan dari orang lain serta Terdakwa mengetahui dengan jelas bahwa Korban adalah anak dari kakak Terdakwa(Sri Sukasih) :
  1. Sebuah Sarung dan celana dalam berdasarkan hasil Lab No.212/2009 yang diketahui bahwa terdapat sidik jari dan bercak putih yang menyerupai sperma Terdakwa pada alat bukti tersebut serta adanya identifikasi korban mengalami pendarahan parah akibat perbuatan bejat Terdakwa.
  2. dan berdasarkan hasil olah TKP dan hasil Lab No.212/2009 ditemukan 1 buah terpal yang digunakan sebagai alas sarung.
  3. Dan berdasarkan keterangan dari korban pelapor, barang bukti tersebut benar adanya.
Bahwa bukti-bukti tersebut sesuai dengan berita acara pemeriksaan Laboratorium Forensik No. 484 LAB: For/RSCM/2009 tanggal 08 November 2009 yang menyimpulkan bahwa bukti-bukti yang diketemukan tersebut adalah benar Terdakwa yang telah memperkosa korban.
Bahwa perbuatan Terdakwa dapat diuraikan sebagai berikut :
Berawal dari adanya laporan dari Retno Sukasih (Korban) kepada Penyidik Polres Brebes, bahwa pada tanggal 26 Oktober 2009 di kawasan Jalan Semrawut No.67 Brebes sekitar Pukul 05.00 WIB Korban berjalan keluar dari rumah dengan tujuan akan memnunaikan sholat shubuh di masjid yang berjarak sekitar 100 m dari rumah Korban, ketika di tengah perjalanan yang suasananya gelap dan dikelilingi oleh  semak belukar, Terdakwa yang tiba-tiba keluar dari semak belukar dan langsung menarik korban kedalam semak belukar tersebut, tanpa menghiraukan jeritan dan perlawanan Korban, Terdakwa langsung membuka seluruh pakaian Korban dan memperkosa Korban dengan paksa. Karena pada waktu shubuh memang jarang orang yang melintas di daerah tersebut.  
Primair
            Bahwa terdakwa Vidin Semrawut pada hari Kamis tanggal 26 Oktober 2009 sekitar jam 05.00 WIB dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu melakukan Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Korban dengan cara antara lain :
-       Bahwa pada waktu Korban pergi dari rumah pukul 05.00 WIB Terdakwa terlebih dahulu telah mengetahui bahwa Korban sering menunaikan ibadah sholat shubuh di Masjid dekat rumah Korban.
-       Bahwa atas keterangan dari Terdakwa (Vidin Semrawut) telah merencanakan untuk melakukan pemerkosaan terhadap Korban dini hari tersebut dimana pada pukul 05.00 WIB terdakwa melancarkan aksinya dengan melihat keadaan sepi dan tanpa ada orang lain lagi yang berada disekitar TKP;
-       Kemudian Terdakwa langsung menarik paksa Korban yang masih berumur 16 Tahun tersebut dan langsung melancarkan aksinya.
-       Bahwa akibat dari perbuatan Terdakwa tersebut mengakibatkan cacat mental pada Korban.
-       Bahwa setelah melakukan hal tersebut Terdakwa meninggalkan Korban yang tergeletak tidak berdaya dan dan mengalami pendarahan yang sangat parah akibat selaput darah Korban yang robek.  
Sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 285 dan 286 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak.
Subsidair
      Bahwa Terdakwa, Alex pada hari Kamis tanggal 26 Oktober 2009 jam 05.00 WIB dengan secara sadar dan jelas mengetahui Retno Sukasih (korban) adalah anak dari kakak terdakwa yang  tidak lain adalah keponakannya sendiri, yang dalam arti Terdakwa telah mengakibatkan korban menderita cacat mental;
Sebagaimana diatur dan diancam dalam pidana maka perbuatan Terdakwa ini dikenakan pasal 285 dan 286 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak.
Demikian surat dakwaan ini dibuat dengan ditanda tangani oleh Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Negeri Brebes.
                                                                                                          
                                                                                                                   Jaksa Penuntut Umum
                      martin chandra putra, SH
            (NIP 2061738)